Pernahkah kita merasa bahwa hati ini begitu mudah berubah? Kadang ia dipenuhi semangat iman, kadang ia dirundung keraguan. Kadang ia tenang dalam ketakwaan, kadang ia gelisah karena dosa. Semua itu bukan tanpa sebab, karena hati memang diciptakan sebagai sesuatu yang selalu berbolak-balik.
Dalam bahasa Arab, Al-Qalbu (القلب) berarti berbolak-balik, mencerminkan sifat hati manusia yang tak pernah benar-benar stabil. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ sering memanjatkan doa:
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku dalam agama-Mu.”
(HR. At-Tirmidzi)
Tapi, apa sebenarnya hati itu? Bagaimana ia bekerja dalam kehidupan manusia? Dan mengapa ia begitu menentukan nasib seseorang di dunia dan akhirat?
Hati: Raja yang Mengendalikan Tubuh
Coba bayangkan sebuah kerajaan. Ada seorang raja yang memberi perintah, dan ada pasukan yang menjalankan instruksi. Jika rajanya bijaksana, kerajaan itu akan makmur. Namun, jika rajanya lalai atau rusak, kehancuran pun tak terelakkan.
Begitulah hati dalam tubuh manusia. Ia adalah pemimpin, sementara anggota badan hanyalah pasukan yang tunduk pada perintahnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ketahuilah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh; jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Maka, jika hati kita sehat, ucapan dan perbuatan kita pun akan baik. Tapi jika hati kita sakit, seluruh amal akan ternoda.
Cinta yang Hakiki: Allah atau Dunia?
Salah satu tugas terbesar hati adalah mencintai. Namun, pertanyaannya: cinta apa yang paling menguasai hati kita? Apakah kita lebih mencintai Allah daripada segalanya, atau justru dunia yang menjadi pusat perhatian kita?
Allah ﷻ memperingatkan dalam firman-Nya:
“Katakanlah: Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”
(QS. At-Taubah: 24)
Lihatlah bagaimana manusia sering terjebak dalam cinta dunia. Mereka mencintai harta hingga lupa zakat. Mereka mencintai keluarga hingga melalaikan ibadah. Mereka mencintai jabatan hingga menindas orang lain. Padahal, kebahagiaan sejati bukan ada di dunia, melainkan dalam kedekatan dengan Allah.
Bisikan Setan: Musuh yang Mengintai Hati
Dahulu, ketika Allah menciptakan Nabi Adam ‘alayhissalam, Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud sebagai bentuk penghormatan. Semua sujud, kecuali iblis.
“Aku lebih baik darinya. Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”
(QS. Al-A’raf: 12)
Sejak saat itu, iblis bersumpah akan menyesatkan manusia melalui hati mereka:
“Aku pasti akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian, aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”
(QS. Al-A’raf: 16-17)
Setan tak akan datang dengan cara yang terang-terangan. Ia menyusup dalam hati, menanamkan waswas, menumbuhkan kesombongan, dan membisikkan angan-angan kosong. Hingga akhirnya, manusia terjerumus ke dalam kelalaian.
Maka, bagaimana cara kita menjaga hati agar tak tergelincir?
Tiga Jenis Hati: Kita Ada di Mana?
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membagi hati manusia menjadi tiga jenis:
1. Hati yang Sehat (Al-Qalb As-Salim)
Ini adalah hati yang bersih dari syirik, kemunafikan, dan penyakit hati. Ia hanya mengharapkan ridha Allah dan tidak terpengaruh oleh hawa nafsu.
2. Hati yang Sakit (Al-Qalb Al-Maridh)
Hati ini memiliki iman, tetapi sering dikalahkan oleh hawa nafsu. Kadang ia tunduk kepada Allah, kadang ia tergelincir dalam maksiat.
3. Hati yang Mati (Al-Qalb Al-Mayyit)
Inilah hati yang tak memiliki cahaya iman. Ia hanya mengikuti keinginan duniawi dan tak peduli terhadap kebenaran.
Allah ﷻ berfirman tentang orang yang hatinya mati:
“Maka celakalah bagi mereka yang hatinya telah keras dari mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
(QS. Az-Zumar: 22)
Lalu, di manakah posisi hati kita? Apakah hati kita masih hidup, ataukah sudah mulai mati?
Menjaga Hati: Agar Tetap Dekat dengan Allah
Setelah memahami pentingnya hati, kita tentu ingin menjaga hati agar tetap bersih dan sehat. Lalu, bagaimana caranya?
1. Perbanyak Dzikir
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Hati itu akan berkarat sebagaimana besi yang berkarat karena air. Maka cara membersihkannya adalah dengan banyak berdzikir kepada Allah.”
(HR. Al-Baihaqi)
2. Jauhi Maksiat
Dosa-dosa akan menghitamkan hati dan menjadikannya keras. Setiap dosa yang dilakukan menambah titik hitam di hati. Jika tidak segera bertaubat, titik itu akan semakin menebal hingga menutupi seluruh hati.
3. Perbanyak Membaca Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah cahaya bagi hati. Membacanya dengan penuh tadabbur akan menghidupkan hati yang mulai gersang.
4. Berdoa agar Hati Tetap Istiqamah
Rasulullah ﷺ mengajarkan kita doa yang sangat penting:
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ القُلُوبِ، صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, palingkanlah hati kami agar selalu taat kepada-Mu.”
(HR. Muslim)
Penutup: Jalan Mana yang Kita Pilih?
Hati adalah pusat kehidupan. Jika hati baik, maka seluruh amal akan baik. Jika hati rusak, maka seluruh amal akan sia-sia.
Kini, kita dihadapkan pada pilihan:
Apakah kita ingin memiliki hati yang sehat, yang selalu dekat dengan Allah?
Ataukah kita membiarkan hati kita sakit, terus-menerus terombang-ambing antara iman dan dosa?
Atau yang lebih mengerikan, apakah kita akan membiarkan hati kita mati, hingga tak lagi merasakan keimanan?
Semoga Allah menjaga hati kita, menjadikannya hati yang hidup, sehat, dan selalu merindukan-Nya. Amin.
Ditulis oleh: Ummu Abdurrahman Hafidzahallah