Maha Suci Allah yang menciptakan segala sesuatu dengan hikmah, dan menjadikan tanda-tanda bagi mereka yang mau berpikir. Tidaklah seekor kijang berlari, tidak pula seekor singa mengendap-endap, melainkan keduanya mengajarkan manusia tentang hakikat kehidupan.
Di alam liar, kijang adalah pelari yang cepat. Kecepatannya bahkan melebihi singa. Secara teori, ia seharusnya bisa selalu selamat dari pemangsanya. Namun, mengapa sering kali ia tetap tertangkap?
Jawabannya adalah prokrastinasi yang membunuh.
Kijang berlari sekencang mungkin saat dikejar, tetapi begitu ia merasa cukup jauh, ia berhenti. Ia kembali menikmati rumput, merasa aman, dan menunda untuk terus berlari lebih jauh. Ia tidak sadar bahwa singa tidak berhenti. Hingga akhirnya, dalam hitungan detik, singa sudah ada di belakangnya dan menerkamnya.
Begitu pula manusia dalam kehidupannya.
1. Kecepatan Saja Tidak Cukup, Kesinambungan yang Dibutuhkan
Banyak orang memulai sesuatu dengan semangat menggebu-gebu. Mereka berlari cepat dalam mengejar ilmu, ibadah, atau kesuksesan. Namun, ketika merasa sudah cukup jauh dari kebodohan, kefasikan, atau kegagalan, mereka berhenti. Mereka merasa aman.
Padahal, Rasulullah ï·º bersabda:
 “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling langgeng meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Langkah kecil yang terus berjalan lebih baik daripada lompatan besar yang terhenti di tengah jalan.
Betapa banyak orang yang rajin membaca Al-Qur’an selama Ramadhan, tetapi setelah itu berhenti? Betapa banyak orang yang bersemangat mencari ilmu di awal, tetapi kemudian menunda-nunda hingga akhirnya tidak melanjutkan? Semua itu karena mereka merasa sudah “cukup jauh” dari ketidaktahuan dan malas.
Tetapi, seperti kijang yang berhenti sebelum benar-benar aman, prokrastinasi mereka akan membunuh langkah mereka sendiri.
2. Rasa Mampu yang Menipu
Salah satu bentuk prokrastinasi yang paling berbahaya adalah merasa “aku bisa melakukannya kapan saja.”
Seorang yang cerdas mungkin menunda belajar karena merasa dirinya sudah cukup pintar. Seorang yang kuat mungkin menunda latihan karena merasa dirinya sudah cukup bugar. Seorang yang shalih mungkin menunda beramal karena merasa dirinya sudah cukup baik.
Padahal, kemampuan tanpa usaha adalah ilusi.
Kijang memiliki kecepatan, tetapi ia tidak terus berlari. Ia berpikir, “Aku bisa kabur kapan saja,” hingga akhirnya kesempatannya hilang. Manusia pun sering seperti itu—menunda kebaikan dengan alasan “aku masih punya waktu.”
Padahal, Allah telah memperingatkan:
 “Maka janganlah kamu merasa aman dari makar Allah. Tiada yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 99)
3. Lari Maraton Lebih Dibutuhkan daripada Lari Sprint
Hidup bukanlah perlombaan lari sprint. Kita tidak hanya membutuhkan kecepatan, tetapi juga ketahanan.
Seseorang yang ingin sukses tidak cukup hanya rajin dalam satu minggu, lalu malas di minggu berikutnya. Seseorang yang ingin mencapai derajat tinggi di sisi Allah tidak cukup hanya bersungguh-sungguh dalam sekejap, lalu berhenti.
Allah Ta’ala berfirman:
 “Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud: 115)
Sabar di sini bukan berarti lamban, tetapi berarti terus melangkah, tanpa berhenti, tanpa menunda.
Kesimpulan: Jangan Biarkan Prokrastinasi Membunuhmu
Kisah kijang dan singa adalah cerminan bagi kita semua. Berapa banyak impian yang mati karena ditunda? Berapa banyak kesempatan yang hilang karena merasa “nanti saja”?
Hidup ini bukan tentang siapa yang memulai lebih cepat, tetapi siapa yang tetap bertahan hingga akhir. Rasulullah ï·º bersabda:
 “Sesungguhnya kemenangan itu bersama kesabaran.” (HR. Ahmad)
Jangan menjadi kijang yang berhenti terlalu cepat. Jangan menunda untuk terus berlari. Karena bisa jadi, saat kamu berpikir masih aman, kenyataannya bahaya sudah ada di belakangmu—siap menerkam, dan menyesal pun tak ada guna.
Abu Abdillah Muhammad Hanif
Purwokerto, Sabtu 09 Sya’ban 1446 H
08 Februari 2025