Puncak Kewibawaan: Lemah Lembut dan Kasih Sayang
Kewibawaan seorang manusia tidak hanya terletak pada ketenangan dan kehati-hatiannya, tetapi mencapai puncaknya ketika dipadukan dengan kasih sayang dan kelembutan hati. Seseorang yang penyayang akan selalu lebih dihormati dibanding mereka yang keras dan kaku, meskipun sifat berhati-hati tetap mereka miliki. Namun, kasih sayang dan kelembutan harus diberikan pada kadar yang tepat dan ditempatkan di posisi yang sesuai. Salah dalam menempatkan kelembutan, atau berlebihan dalam kasih sayang, justru akan menjadi bumerang yang berbahaya, karena itu menunjukkan sebuah keteledoran.
Dari sifat kasih sayang inilah lahir kebajikan-kebajikan mulia lainnya, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian dalam bertindak. Ketika kelembutan berpadu dengan ketenangan, ia menciptakan komposisi yang mengagumkan. Tidak ada kewibawaan yang mampu menandingi keindahan dari sifat ini, kecuali mereka yang juga memilikinya dalam hati mereka.
Awal kelembutan adalah kehati-hatian, dan akhir dari kehati-hatian adalah kelembutan.
Seseorang tidak akan bisa menyayangi lingkungannya tanpa terlebih dahulu menyayangi dirinya sendiri. Demikian pula, kebijaksanaan bermula dari bijaknya seseorang dalam memilih untuk dirinya sendiri. Orang yang mudah memaafkan dirinya akan mudah memaafkan orang lain. Mereka yang dapat menerima kekurangan diri akan lebih mampu memaklumi kekurangan sesama.
Kebaikan selalu dimulai dari diri sendiri
Jika kita terlalu keras, kaku, dan terus-menerus menuntut kesempurnaan dari diri kita, maka kita pun akan melihat dunia dengan pandangan yang sama. Kesalahan kecil menjadi besar, kekurangan orang lain terasa tidak termaafkan. Sebaliknya, ketika kita belajar berbaik hati kepada diri sendiri, dunia pun perlahan berubah.
Temani dirimu. Jadikan dirimu seorang sahabat yang setia dalam kesendirian, yang kau ajak berbincang tentang hidup, tentang harapan, dan tentang kebijaksanaan. Dalam diri kita, sejatinya ada dua jiwa: jiwa yang terkadang rapuh dan mudah tergoda, serta jiwa yang mampu memberi nasihat dan arahan. Ketika pikiranmu menggoda untuk melakukan keburukan, jangan keras terhadap dirimu. Ajaklah ia berbicara dengan kasih sayang. Nasehati dengan kelembutan. Tanyakan: “Apa manfaat di balik ini? Apa keburukan yang akan muncul setelahnya?”
Jiwa manusia itu seperti anak kecil: ia akan memberontak jika dikerasi, tetapi akan luluh jika dirangkul dengan kelembutan. Bisikkan rayuan kebaikan kepadanya, gambarkan kesenangan di masa depan yang menanti jika ia mampu meninggalkan keburukan. Berjanjilah kebahagiaan sebagai gantinya. Jiwa yang baik tidak terlahir begitu saja. Ia adalah hasil pendidikan panjang yang membutuhkan kesabaran dan keistiqamahan.
Melihat Dunia dari Kaca Mata yang Bersih
Dulu, saya sering merasa bahwa tidak ada lagi orang baik di dunia ini. Setiap orang yang saya temui tampak buruk di mata saya. Saya bahkan merasa hidup saya tidak berharga bagi siapa pun. Tapi kemudian, kebijaksanaan menuntun saya untuk menelusuri diri sendiri. Saya mulai menyadari bahwa bagaimana saya melihat dunia sepenuhnya dipengaruhi oleh “kacamata” yang saya pakai.
Jika kacamata saya kotor, dunia pun terlihat suram. Tapi jika saya membersihkan kacamata itu, saya mendapati dunia yang penuh keindahan, penuh senyuman. Rupanya, sikap saya terhadap diri sendiri memengaruhi bagaimana saya melihat dunia. Ketika saya keras pada diri saya, dunia pun terlihat keras kepada saya. Tapi ketika saya lembut pada diri sendiri, dunia ikut melunak dan tersenyum.
Kasih Sayang: Simbol Kedewasaan dan Keberanian
Sikap kasih sayang dan kelembutan bukanlah tanda kelemahan. Sebaliknya, ia adalah simbol kedewasaan dan keberanian. Tanpanya, seorang pemimpin akan kehilangan hormat. Tanpa kasih sayang, kewibawaan seseorang akan memudar. Tapi dengannya, seseorang akan dicintai, dihormati, dan dirindukan.
Jika kehati-hatian adalah pakaian kebesaran seorang raja, maka kasih sayang dan kelembutan adalah mahkotanya. Berdirilah seperti raja yang gagah dan berwibawa, memancarkan ketenangan dan kelembutan kepada dunia. Hiasi wajahmu dengan senyuman, dan dunia pun akan tersenyum kembali padamu.
Ditulis oleh Abu Rehal Rafif Kinanthi
Dikoreksi oleh Abu Abdillah Muhammad Hanif