Al-Khonsa: di bawah panji keabadian

Malam itu, angin padang pasir berhembus dingin, menyelusup ke sela-sela kemah yang berdiri di bawah langit berbintang. Di tengah hamparan ribuan tenda para mujahid yang bersiap menghadapi perang al-Qadisiyah, sebuah kemah kecil tampak berbeda. Di dalamnya, seorang ibu duduk bersimpuh, menghadap ke empat putranya yang berdiri tegap di hadapannya. Cahaya lentera kecil memantulkan bayangan wajahnya yang tenang, namun matanya menyiratkan keteguhan yang tak tergoyahkan.

Dialah Al-Khonsa, seorang ibu yang telah ditakdirkan menjadi madrasah pertama bagi keempat putranya. Suaranya lirih namun penuh makna, seperti bisikan angin yang membawa pesan keabadian. Ia memandang wajah putra-putranya satu per satu, memastikan mereka menyerap setiap kata yang akan diucapkannya malam itu.

“Anak-anakku,” ucapnya, nada suaranya penuh kasih namun tegas, “Kalian tahu, Islam adalah cahaya yang telah menerangi hidup kita. Kalian memeluk agama ini dengan penuh kerelaan, meninggalkan kegelapan jahiliyah tanpa ragu. Hari esok adalah hari kalian membuktikan keimanan itu. Allah telah menjanjikan pahala yang besar bagi mereka yang berjuang di jalan-Nya.”

Keempat putranya—pemuda-pemuda gagah dengan jiwa yang menyala—menatap ibunda mereka dengan penuh penghormatan. Mereka tahu, pesan ini lebih dari sekadar nasihat. Ini adalah wasiat yang harus mereka emban dengan seluruh jiwa dan raga.

Al-Khonsa melanjutkan dengan suara yang bergetar oleh keimanan mendalam, “Kalian berasal dari ayah yang sama, terlahir dari rahim ibu yang sama. Aku tidak pernah mengkhianati ayah kalian, tidak pula mempermalukan keluarga kita. Maka, aku hanya meminta satu hal: Jika kalian melihat perang berkecamuk esok hari, jangan pernah gentar. Masuklah ke dalam kancahnya dengan pantang mundur. Dunia ini fana, tapi surga adalah tempat abadi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang sabar.”

Malam itu, di bawah langit yang seolah menjadi saksi, keempat putra Al-Khonsa bersumpah dalam hati bahwa mereka akan memenuhi harapan ibunda mereka.

 

Subuh yang Menggetarkan

Fajar merekah di ufuk timur, membangunkan bumi dari gelapnya malam. Suara takbir menggema di seluruh kemah para mujahid. Para prajurit bersiap, menggenggam pedang mereka dengan tangan yang kokoh, mengarahkan pandangan penuh keyakinan ke medan pertempuran yang menanti.

Keempat putra Al-Khonsa adalah yang pertama bersiap. Pagi itu, mereka mengenakan baju perang sambil mendendangkan syair-syair yang diwarisi dari sang ibunda. Syair-syair itu tidak hanya indah, tetapi juga membakar semangat juang mereka dan orang-orang di sekitarnya.

“Wahai saudaraku,” ucap putra sulung Al-Khonsa kepada adik-adiknya, “Ingatlah pesan ibu. Mati di jalan Allah bukanlah akhir, melainkan awal dari kehidupan yang sejati.”

Mereka tersenyum, saling menepuk bahu, dan bergabung dengan barisan pasukan. Di garis depan, panji Islam berkibar dengan gagah, menantang hembusan angin dan pasukan musuh yang begitu besar.

 

Gugurnya Para Pahlawan

Pertempuran al-Qadisiyah adalah salah satu yang paling dahsyat dalam sejarah. Pasukan Muslim menghadapi ribuan tentara Persia yang dipimpin oleh Rustum, seorang jenderal besar yang dikenal kehebatannya. Pedang beradu, panah melesat, dan teriakan takbir menggema di seluruh penjuru medan perang.

Keempat putra Al-Khonsa maju dengan keberanian yang luar biasa. Masing-masing dari mereka mengingat pesan ibunda mereka, menjadikan setiap ayunan pedang sebagai persembahan untuk Rabb mereka.

Namun, takdir telah ditentukan. Satu per satu, mereka gugur di medan perang, memberikan nyawa mereka demi kejayaan Islam.

 

Ujian Keteguhan

Berita gugurnya keempat putra Al-Khonsa sampai ke telinganya saat senja tiba. Ia sedang duduk di dalam kemahnya, memejamkan mata sambil berdoa untuk keselamatan anak-anaknya. Ketika seorang utusan datang dengan wajah penuh duka, ia membuka matanya perlahan, menatap utusan itu tanpa gentar.

“Ibunda, putra-putramu… mereka semua telah syahid,” ucap sang utusan dengan suara bergetar.

Al-Khonsa tidak menangis, tidak pula meratap. Ia menundukkan kepala, menghela napas panjang, lalu mengangkat kedua tangannya ke langit.

الحمد لله الذي شرّفني بقتلهم وأرجو من ربّي أن يجمعني بهم في مستقرّ رحمته
(Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan terbunuhnya mereka. Aku berharap dari Rabbku agar mengumpulkan aku bersama mereka di tempat gemilang rahmat-Nya.)

 

Warisan Seorang Ibu

Keberanian Al-Khonsa dan keempat putranya menjadi inspirasi bagi seluruh pasukan Muslim. Mereka berjuang dengan semangat yang semakin membara, hingga akhirnya Allah memberikan kemenangan yang gemilang di perang al-Qadisiyah.

Kisah Al-Khonsa pun sampai ke telinga Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Ia begitu terharu dengan keteguhan wanita ini, hingga memerintahkan agar Al-Khonsa diberi santunan dari baitul mal seumur hidupnya.

Al-Khonsa hidup dalam ketenangan, menanti saat di mana ia akan kembali berkumpul dengan putra-putranya di surga. Ia adalah madrasah sejati, ibu dari para syuhada, dan teladan bagi seluruh wanita yang mengharapkan keridhaan Allah.

 

Dari kitab Ad Durarul bahiyyah fii maatsirin nisain nadiyyah karya Abu Abdillah Muhammad Hanif Al Khairuzani